Sejarah Tanah Sepanjang Peradaban-Peradaban Manusia

Dapatkah Anda membayangkan suatu benda yang sangat berarti bagi kehidupan manusia? Benda itu adalah tanah (solum-bahasa Latin, lahan bahasa Jawa). Tanah adalah sumber daya penting bagi kehidupan di muka bumi. Tanah menyediakan air, udara, dan nutrisi yang dibutuhkan bagi makhluk hidup seperti organisme tanah dan tumbuhan. Melalui penggunaan tanah seperti pertanian dan produksi biomassa, sumber daya tanah dapat menghasilkan pangan, pakan, sandang, papan dan bioenergi yang dapat mendukung kehidupan manusia.Oleh karena itu, sejarah penggunaan tanah berkaitan erat dengan sejarah peradaban manusia.

Keberhasilan dan kegagalan dalam membangun peradaban ditentukan oleh kualitas tanah dan manajemen penggunaan tanahnya. Pentingnya sumber daya tanah dan lingkungan secara umum tercermin dari pandangan agama-agama di dunia. Sebagai contoh, menurut Judas, homo (manusia) berasal dari humus (lapukan bahan organik dalam tanah) yang merupakan bahan penting untuk kehidupan; menurut Hindu, tubuh manusia dibuat dari kshiti (tanah), jal (air), pawak (energi), gagan (langit), dan sameere (udara); menurut Kristen kata Adam (manusia) berasal dari kata Adama yang artinya bumi atau tanah; dan menurut Islam, manusia diciptakan dari tanah liat (Lal, 2014).

Keterkaitan Tanah dengan Peradaban Kuno

Peradaban Mesopotamia

Sejarah kegiatan pertanian untuk menghasilkan pangan dan produk lainnya sama tuanya dengan sejarah peradaban manusia. Pertanian kuno pertama yang berhasil membangun peradaban tinggi dijumpai di Mesopotamia (Irak sekarang) sekitar 7.000 tahun lalu (lihat Gambar 1.2).

Tanah di Mesopotamia termasuk aluvial yang subur, topografinya datar dan iklimnya hangat tetapi kering, dan cahaya matahari berlimpah. Air di sungai Mesopotamia juga cukup, dan saat itu jarang terjadi kekeringan atau banjir, karena hutan di daerah tangkapan air (catchment area) di hulu masih baik. 

Pada tahun 3500 SM, bangsa Sumeria berhasil menyulap tanah rawa di antara dua Sungai Tigris dan Sungai Euphrates itu menjadi wilayah penghasil biji-bijian, pakan ternak dan kebun kurma yang subur. Produktivitas lahan pertanian di Mesopotamia saat itu bisa beberapa kali lipat dibanding pertanian tanpa irigasi. Dengan berkembangnya pertanian, ekonomi di Mesopotami juga berkembang dan kemudian tumbuh kota-kota baru.

Invensi ilmu pengetahuan kuno seperti cara penulisan dengan tanah liat, cara-cara akuntansi, buku-buku sastra dan hukum, dan inovasi keteknikan seperti alat transportasi laut, kendaraan beroda, shadoof (teknologi pengangkat air), senjata dan alat-alat perang yang dibangun bangsa Sumaria merupakan bukti tumbuhnya peradaban baru bangsa Sumeria di Mesopotamia.

Akan tetapi, mulai milenium ketiga sebelum Masehi, zaman keemasan bangsa Sumeria kemudian mulai pudar setelah terjadi pergantian kekuasaan dari bangsa Sumeria (dari Mesopotamia Selatan) ke bangsa Babilonia (dari Mesopotamia Utara).

Oleh penguasa Babilonia, pusat kekuasaannya pun dipindah ke utara yang merupakan daerah tangkapan air Sungai Tigris dan Sungai Euphrates. Perpindahan pusat kekuasan tersebut memacu penggundulan hutan cedar (pinus) dan penggembalaan liar (overgrazing) di daerah hulu. Akibatnya, erosi yang terjadi ratusan tahun itu bukan hanya membawa sedimen debu (silt) yang telah mendangkalkan Sungai Tigris dan Sungai Euphrates, tetapi juga menutup saluran-saluran irigasi. Selain itu, di daerah beriklim kering seperti di Mesopotamia, evaporasi air permukaan mengakibatkan kandungan garam meningkat (salinasi), sehingga terjadi pengendapan garam di permukaan tanah. Adanya salinasi permukaan tanah ini telah meracuni tanaman perta-nian yang berdampak pada menurunnya produktivitas lahan. Dengan demikian, sedimentasi (silt) dan salinasi (salt) yang terjadi ratusan tahun menyebabkan pertanian di Mesopotamia terhenti yang pada akhirnya berdampak pada jatuhnya peradaban Mesopotamia (Hillel, 1992; Gardiner dan Miller, 2008).

Peradaban Lembah Nil, Mesir Kuno

Seperti di Mesopotamia, peradaban Mesir Kuno yang berkembang sepanjang lembah Sungai Nil sekitar 5000 SM juga ditopang oleh pertanian beririgasi kuno. Akan tetapi berbeda dengan di Mesopotamia, sedimen (silt) yang dibawa setiap banjir dari sungai Nil justru membawa berkah. 

Di lembah Sungai Nil, sedimen yang terbawa banjir tidak menutup saluran irigasi dan tidak menimbulkan sanitasi seperti di Mesopotamia, tetapi justru menyuburkan tanah karena mengandung hara dan humus. Karena kesuburan tanahnya, pertanian kuno di delta sungai Nil produktif berkelanjutan sehingga menghasilkan surplus pangan. 

Air Sungai Nil berasal dari pegunungan di Etiopia yang kaya akan humus dan hara. Dengan basis irigasi seperti di Mesopotamia, petani Mesir Kuno bisa panen sampai 4 kali pertahun karena cukup air dan cahaya mataharinya berlimpah. Pada saat itu, teknologi manajemen air terus berkembang dari yang sederhana dengan menggunakan ember beralih ke shadoof lalu tambor, kemudian saqiya yang lebih canggih sehingga mampu meningkatkan produktivitas lahan.

Bajak sederhana yang ditarik oleh sapi juga sudah ditemukan di Mesir sekitar 6.000 tahun lalu. Dengan teknologi pertanian tersebut petani Mesir dapat memproduksi pangan dengan lebih efisien. Semua alat kuno tersebut masih dipakai sampai sekarang melengkapi pompa air dengan listrik. Akan tetapi, seperti di Mesopotamia, kemakmuran Mesir Kuno juga mengundang invasi Yunani, Italia, dan Perancis. 

Napoleon dari Perancis menguasai Mesir tahun 1797, dan kemudian membawa para ahlinya untuk menimba ilmu tentang misteri keberhasilan mereka dalam membangun peradaban.

Demikan makmurnya masyarakat Mesir Kuno waktu itu, sehingga mereka mampu membangun piramida-piramida yang terkenal. Akan tetapi, jika dahulu Mesir Kuno selalu surplus pangan dan mampu membantu bangsa Romawi, tetapi sekarang dengan tanah dan tata air yang sama, Mesir justru mengimpor lebih dari separuh kebutuhan pangannya. Ironis memang, tetapi ini fakta, di samping permasalahan kependudukan dan konflik internal, tanahnya yang terkenal subur sekarang juga sudah terdegradasi (Hillel, 1992; Gardiner dan Miller, 2008).

Peradaban Lembah Indus

Peradaban berikutnya yang terkenal adalah Peradaban Lembah Indus (sering disebut Peradaban Harappan) di wilayah Pakistan dan sebagian India, Afganistan, dan Iran. Peradaban yang masih berbasis sistem irigasi ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh Peradaban Mesopotamia dan berkembang pada tahun 3300-1300 SM di lembah Daerah Aliran Sungai (DAS) Indus (Wikipedia, 2013; Hillel, 2002).

Teknologi kerajinan dan metalurgi (tembaga, perak, lead, dan timah) berkembang di era Peradaban Lembah Indus. Kota-kota dengan bangunan bertingkat dengan bahan bangunan dari bata bakar dan badan jalan dengan sistem drainase juga berkembang pesat.

Seperti di Mesopotamia dan Mesir, Peradaban Lembah Indus juga mengalami kemunduran dan kemudian runtuh. Salah satu sebab runtuhnya Peradaban Indus adalah karena deforestasi akibat banyaknya kebutuhan kayu untuk bahan bakar bata dan penggembalaan. Akibatnya, pada musim hujan, banjir dan erosi sering melanda Lembah Indus, sehinga banyak kanal-kanal tersumbat sedimen, sedangkan pada musim kemarau terjadi salinasi yang tinggi.

Peradaban Mesoamerika

Seperti peradaban kuno di Asia Tengah, peradaban kuno di Mesoamerika (peradaban Maya) juga dimulai dari ekosistem lahan basah. Peninggalan peradaban Bangsa Maya yang bernilai tinggi dijumpai di Guatemala, Meksiko, Beliza, dan Honduras sekarang. Perkembangan peradaban bangsa Maya dimulai sekitar tahun 2000 SM.

Periode awal bangsa Maya dimulai dengan pertanian sistem babat bakar dengan jagung sebagai tanaman utamanya. Setelah itu berkembang chinampas, suatu sistem pertanian bangsa Maya yang monumental. Untuk membuat chinampas, tanah di dataran rendah yang umumnya kaya bahan organik dan subur, digali untuk dibuat kanal-kanal. Galian kanal digunalkan untuk membuat bedengan persegi panjang (semacam surjan sekarang) sehingga bisa ditanami tanaman pertanian.

Setiap tahun, kanal-kanal dibersihkan dari serasah, dan serasahnya ditaruh di atas bedengan untuk menyuburkan tanah. Dalam kanal dipelihara ikan dan kura-kura, sedangkan bedengannya ditanami jagung, mantang, ubikayu, kacang-kacangan, gambas, dan kakao. Untuk mengurangi erosi di lahan kering di daerah hulu yang berlereng, dibangun teras-teras bahkan ada yang diisi dengan tanah subur dari lahan dataran rendah di bawahnya. Bangsa Maya waktu itu sudah mampu membangun pertanian secara komprehensif dan sudah berbasis lanskap. Selain itu, pertanian konservasi model bangsa Maya yang dikembangkan tahun 2000 SM menjadi modal dasar pembangunan peradaban tinggi bangsa Maya. Kota-kota besar, tempat peribadatan, bahkan ilmu pengetahuan (matematik, sastra, dan lain-lain) pun berkembang pesat.

Akan tetapi, peradaban Maya secara misterius pada tahun 800-900 mulai jatuh. Banyak teori yang menganalisis mengapa peradaban Maya jatuh. Salah satu alasan jatuhnya peradaban Maya adalah terjadinya kelaparan dahsyat akibat daya dukung pertanian waktu itu sudah tidak mampu lagi memberi makan bangsa Maya akibat adanya ledakan penduduk dan kekeringan (Wikipedia, 2013; Hillel, 1992).

Peradaban Mediterania

Sejarah peradaban kuno di Mediterania bukan hanya berkembang di dataran rendah (lowland), tetapi juga di lahan kering tadah hujan (rain-fed upland) bagian hulu wilayah Mediterania. Banyak pertanian lahan kering tadah hujan di Mediterania yang memacu perkembangan peradaban kuno Mediterania seperti di Lebanon, Yunani dan Romawi.

Lebanon adalah tanah airnya Bangsa Phoenicia yang terkenal sebagi navigator dan pedagang ulung di sekitar tahun 1000-500 SM. Tetapi oleh karena tingginya degradasi tanah, maka lahan pertaniannya sudah tidak mampu lagi mendukung populasi. Untuk memasok kebutuhan hidup mereka, bangsa Phoenicia kemudian menaklukan Carthage (Afrika Utara), Sardinia, Sisilia, dan Spanyol. Seperti di negara asalnya, teknologi untuk mengolah lahan pertanian daerah jajahannya pun tidak mengindahkan aspek-aspek konservasi tanah. Akibatnya, lahan pertanian mengalami degradasi berat dan produktivitas lahan menurun, sehingga kekuatan bangsa ini pun melemah. Kemudian bangsa ini pun ditaklukkan oleh bangsa Yunani. Yunani adalah negeri berbukit dengan tanah yang subur tetapi peka erosi. 

Peradaban bangsa Yunani yang tidak pro lingkungan berpengaruh besar terhadap kerusakan lingkungan. Sekitar tahun 800 SM, mereka mengonversi hutan menjadi lahan pertanian intensif sehingga memacu degradasi lahan yang serius. Gandum, barley, anggur, dan tanaman lainnya ditanam di lahan-lahan berlereng. Hutan pun ditebang untuk bahan bakar dan bahan perumahan dan kapal. Lahan pun berubah menjadi gundul dan tumbuh padang rumput untuk penggembalaan. Menurunnya kualitas sumber daya alam, menyebabkan pertanian bangsa Yunani sudah tidak mampu lagi mendukung perekonomiannya. Akibatnya, kekuatan bangsa Yunani melemah dan kemudian jatuh di tangan bangsa Romawi. Nasib bangsa Romawi mirip dengan pendahulunya.

Pola perkembangan peradabannya sama, yaitu pembangunan pertanian di wilayah ini dimulai dengan menebas hutan, semak belukar dan vegetatif lainnya untuk dijadikan pertanian tanaman pangan dan penggembalaan tanpa didukung oleh teknik-teknik konservasi yang memadai. Memang mereka menyadari pentingnya konservasi tanah. Beberapa metode untuk meningkatkan kesuburan tanah seperti pemberaan, pupuk hijau dan pembuatan teras dikembangkan. Akan tetapi, penerapannya sporadis dan tidak diterapkan dengan baik sehingga degradasi lahan meningkat terus.

Produktivitas lahan yang awalnya tinggi, secara perlahan tapi pasti juga menurun karena proses erosi selama ribuan tahun. Masalahnya adalah pertanian intensif dan penggembalaan di daerah-daerah berbukit, juga dilakukan di daerah kolonisasinya.

Ekonomi penduduk yang selama ini tergantung dari lahan pertanian menurun drastis, yang berakibat pada kejatuhan peradaban bangsa Mediterania. Di samping masalah-masalah politik dan alasan lainnya, seperti peradaban sebelumnya, kejatuhan Kekaisaran Romawi terutama disebabkan oleh degradasi lingkungan (Hillel, 1992).

Pelajaran untuk Membangun Peradaban Masa Depan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber daya tanah merupakan komponen penting bagi pertanian untuk membangun peradaban manusia. Pelajaran berharga dari sejarah peradaban kuno di Mesopotamia, Mesir, Lembah Indus, Maya, dan peradaban kuno lainnya adalah bahwa peradaban yang mengeksploitasi sumber daya tanah terbukti gagal dalam mendukung peradaban manusia itu sendiri secara berkelanjutan. Selanjutnya Lal (2014) meresume bahwa punahnya peradaban manusia masa lalu berkaitan erat dengan degradasi lahan. 

Seperti masa lalu, eksploitasi sumber daya tanah saat ini pun masih berlangsung, khususnya di wilayah tropika seperti Indonesia. Eksploitasi sumber daya tanah dikhawatirkan akan menimbulkan kepanikan global, sebab dapat menurunkan kapasitas tanah dalam mendukung kehidupan di bumi. Di masa datang, dengan makin meningkatnya penduduk dunia, kebutuhan pangan dan energi semakin tingggi. Ini berarti tugas pertanian akan semakin berat, karena bukan hanya harus menyediakan pangan, tetapi juga menyediakan bio-energi untuk mengantisipasi makin menipisnya ketersediaan energi fosil. Namun berbeda dengan masa peradaban kuno, tantangan pertanian di masa datang lebih kompleks, yaitu bukan hanya makin meningkatnya degradasi tanah, tetapi juga makin terbatasnya lahan pertanian produktif dan adanya dampak perubahan iklim.

Dengan demikian, posisi pertanian kedepan semakin sulit, sebab pertanian bukan hanya yang paling terkena dampak perubahan iklim, tetapi juga sebagai kontributor emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup di muka bumi secara berkelanjutan diperlukan upaya terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu mengatasi permasalahan penting tersebut. Dengan mempelajari dan memahami sifat dan ciri sumber daya tanah secara komprehensif diharapkan kita dapat mengelola tanah secara berkelanjutan dalam rangka membangun peradaban baru umat manusia.

Lebih baru Lebih lama