Fisika Tanah

Sifat Fisika Tanah

Sifat fisika tanah seperti tekstur, struktur, kepadatan, porositas, aerasi, kekuatan, suhu, dan warna tanah merupakan falktor yang dominan dalam memengaruhi penggunaan tanah, terutama dalam kaitannya dengan ketersediaan oksigen dan mobilitas air dalam tanah dan kemudahan penetrasi akar tanaman.
Secara fisika tanah, suatu tanah mineral merupakan suatu sistem alami (natural system) yang heterogen yang terdiri dari tiga fase, yaitu fase padat, cair, dan udara. Komponen padatan tanah terdiri dari bahan mineral dan organik. Sebagai suatu sistem alami, komposisi dari komponen-komponen tersebut akan saling berinteraksi satu sama lain dalam kondisi tertentu, sehingga tanah bersifat sangat kompleks dan perilakunya menjadi dinamis. Komponen pembentuk tanah yang terdiri dari padatan, cair, dan udara jarang berada dalam kondisi keseimbangan, sehingga selalu berubah mengikuti perubahan yang terjadi di permukaan tanah. Perubahan permukaan tanah tersebut dipengaruhi oleh iklim berupa curah hujan, suhu udara, angin dan sinar matahari. Oleh karena itu, tanah-tanah di daerah tropis basah seperti di Indonesia akan mengalami perubahan seperti dari basah menjadi kering, mengembang dan mengerut, mengalami dispersi, dan mengalami proses flokulasi dan koagulasi yang membentuk agregat tanah.

Fungsi Tanah

Fungsi tanah sebagai media tempat tumbuh tanaman dalanm pengelolaannya harus mampu menyediakan kebutuhan tanaman seperti air dan udara serta unsur hara. Dengan demikian sifat fisika tanah sangat penting untuk dipelajari dan dipahami agar dalam pengelolaan tanah akan dapat memberikan media tumbuh yang cocok dan kondusif bagi tanaman. Fisika tanah merupakan ilmu dasar yang aplikasinya diterapkan dalam ilmu pertanian seperti budidaya dan teknik pertanian, dan berkaitan dengan cabang ilmu tanah lainnya. Oleh karena kajian fisika tanah berkaitan dengan pergerakan air di permukaan dan di dalam tanah, maka ilmu ini sangat penting untuk mendukung pengelolaan tanah dan lingkungan. Selain itu fisika tanah berkaitan erat dengan konservasi tanah dan air, erosi tanah, degradasi tanah dan hutan, irigasi, drainase, dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).

Menurut Hillel (1982), untuk berperan sebagai media yang baik bagi pertumbuhan tanaman, tanah harus menyimpan dan menyediakan air, udara dan unsur hara, serta bebas dari konsentrasi bahan beracun yang berlebihan. Sistem tanah-air-tanaman lebih rumit sebab akar-akar tanaman harus bernapas terus. Tetapi kebanyakan tanaman di bumi ini tidak mampu menyalurkan oksigen dari bagian tanaman yang berada di atas tanah ke bagian perakaran dengan kecepatan yang mencukupi bagi pernapasan akar. Oleh sebab itu, tanah harus mempunyai aerasi yang baik. Hal ini berarti akan dijamin pertukaran oksigen dan karbon dioksida terus-menerus, melalui pori-pori tanah (berisi udara) yang berhubungan langsung dengan atmosfer. Tanah yang sangat basah (kekurangan oksigen) akan melumpuhkan perakaran, sebaliknya tanah yang sangat kering (kekurangan air) akan mengeringkan akar.

Adapun koloid organik dan anorganik tanah beserta beberapa bahan lainnya sangat berperan sebagai bahan pengikat partikel yang dapat menghasilkan agregat tanah. Proses agregasi tanah terjadi melalui proses flokulasi dan koagulasi yang merupakan pengelompokan butir-butir mineral primer tanah. Dari pembentukan agregat tersebut terbentuk rongga-rongga pori tanah yang memungkinkan fase cair dan udara menempatinya.

Fase-fase Tanah

Apabila kita kelompokkan, komponen penyusun tanah tersebut terdiri atas tiga fase, yaitu fase padat (bahan mineral dan bahan organik), fase cair (air), dan fase gas (udara). Dari ketiga fase tersebut, fase gas dan fase cair bersifat dinamis tergantung kepada kondisi iklim serta tindakan pengolahan tanah.

Di dalam matriks tanah ada fase padat, fase cair, dan udara. Fase padat itu sendiri sebagai penyusun matriks tanah, sedangkan fase cair berupa air tanah, dan fase gas berupa atmosfer (udara) tanah. Dalam air tanah selalu mengandung bahan-bahan terlarut, sehingga bahan ini disebut larutan tanah. Matriks padat dari tanah terdiri dari partikel-partikel dengan komposisi kimia dan mineralogi, ukuran, bentuk, dan orientasinya yang berbeda. Matriks padat juga berisi bahan amorf, terutama bahan organik yang terikat pada butiran mineral dan mengikat mineral tersebut menjadi agregat.

Susunan komponen-komponen padatan tanah menentukan sifat-sifat geometris ruang pori di mana air dan udara beragam dalam komposisi menurut ruang dan waktu (Hillel, 1982). Misalnya, komposisi volume tanah dengan tekstur sedang seperti tekstur lempung (loam). Lempung mempunyai komposisi yang hampir seimbang antara fraksi pasir, debu, dan klei (liat, clay). Lempung sering dianggap sebagai tekstur tanah yang optimal untuk pertanian di lahan kering. Kondisi ini dianggap mempunyai komposisi optimum untuk pertumbuhan tanaman, terutama pada lahan kering. Hal ini, disebabkan oleh kapasitasnya menyerap hara pada umumnya lebih baik daripada tekstur pasir, sementara drainase, aerasi dan kemudahan dalam pengolahan tanahnya lebih baik daripada klei. Akan tetapi, pendapat ini tidak berlaku umum, karena untuk keadaan lingkungan dan jenis tanaman tertentu pasir atau klei mungkin lebih baik dari pada lempung, bila kandungan bahan organik tanahnya cukup tinggi.

Susunan volume suatu tanah lempung berdebu yang berada dalam keadaan optimum bagi pertumbuhan tanaman dengan bagian padat terdiri dari 45 persen bahan mineral dan 5 persen bahan organik dan sisanya 50 persen ruang pori (udara dan air). Dalam keadaan kelembaban optimum bagi pertumbuhan tanaman, dari 50 persen ruang pori, 25 persen ditempati air dan 25 persen lagi udara. Nisbah udara dan air di alam berubah-ubah bergantung dari iklim dan faktor lainnya, adapun volume lapisan bawah dapat diduga akan berbeda dari lapisan olah. Dibandingkan dengan lapisan olah, lapisan bawah mengandung bahan organik lebih sedikit, berat isi lebih padat, dan persentase pori kecil yang lebih tinggi. Ini berarti lapisan bawah mengandung lebih banyak bahan mineral dan air.

Warna Tanah

Warna tanah merupakan petunjuk sifat tanah yang paling mudah dideterminasi. Warna tanah dapat dijadikan sebagai indikator kualitatif dalam menentukan tingkat kesuburan tanah, kandungan bahan organik, aerasi dan drainase. Tanah dengan warna hitam menunjukkan kandungan bahan organik tanah yang tinggi. Tanah yang banyak mengandung oksida-oksida Fe atau mineral hematit akan menunjukkan warna merah dan yang mengandung mineral goethite, besi oksida terhidrasi dengan mineral limonit akan menunjukkan warna kuning. Adapun tanah yang mempunyai drainase jelek akan menunjukkan warna terang atau pucat, karena besi yang tereduksi.

Pada tanah jenuh air, atau sepanjang tahunnya tergenang air, akan berwarna kelabu atau gley seperti tanah yang berada pada daerah cekungan atau sawah. Ada empat faktor utama yang memengaruhi warna tanah, yaitu: (a) kandungan bahan organik; (b) kandungan air dan kondisi drainase tanah, baik dalam kondisi jenuh atau tidak jenuh; (c) adanya oksida besi dan mineral tanah seperti kuarsa, hematit, limonit, glauconite; dan (d) kondisi fisiografi wilayah seperti wilayah cekungan atau dataran dan topografi berlereng.

Penentuan warna tanah di lapangan adalah dengan menggunakan Munsell soil color charts (Foto 3.1) dengan warna tanah disusun oleh tiga variabel yaitu HUE, value dan chroma. Arti dari variabel tersebut adalah:

1. HUE, merupakan warna spektrum yang dominan sesuai dengan panjang gelombang., HUE terdiri dari 10 R; 2,5 YR; 5 YR; 7,5 YR; 10 YR; 2,5 Y; 5Y; dan gley,

2. Value, menunjukkan gelap atau terangnya warna tanah, sesuai dengan banyaknya sinar yang dipantulkan, dan

3. Chroma, kemurnian atau kekuatan dari warna spektrum.

Contoh: Jika tanah dengan notasi 10 YR 5/6, berarti 10 YR = HUE, 5 = value, dan 6 = chroma, dan berdasarkan penentuan warna tanah dalam Munsell soil color charts, maka 10 YR 5/6 tersebut berwarna cokelat kekuningan. Tanah dengan notasi 2,5 YR 3/6 berwarna merah gelap, dan 5Y 5/1 berwarna kelabu.

Tekstur Tanah

Dua sifat fisik tanah yang penting adalah tekstur dan struktur tanah. Tekstur tanah dianggap sebagai ciri dasar tanah yang dengan manipulasi tanah sifat ini tidak mudah berubah. Secara umum, tanah mineral memiliki partikel primer (tekstur) dengan ukuran bervariasi, baik antar setiap jenis tanah maupun antar lapisan dalam profil tanah.

Tekstur tanah yang biasa disebut dengan butir tanah berhubungan erat dengan pergerakan air dan zat terlarut, udara, pergerakan panas, berat volume tanah, luas permukaan spesifik (specific surface), kemudahan tanah memadat (compressibility), dan lain-lain (Hillel, 1982). Butir tanah tersebut terdiri dari fraksi klei, debu, dan pasir. Secara umum tanah memiliki variasi ukuran partikel primer tanah, dengan ukuran yang variasi. Ukuran partikel primer tersebut dapat dikelompokkan dalam bentuk partikel pasir, debu, dan klei.

Tekstur adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu, dan klei. Dalam analisis tekstur, fraksi bahan organik tidak diperhitungkan, karena bahan organik terlebih dahulu telah didestruksi dengan hidrogen peroksida (H,0,).

Tekstur tanah dapat ditentukan atau dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Cara kualitatif biasa digunakan surveyor tanah dalam menetapkan kelas tekstur tanah di lapangan. Adapun penentuan tekstur tanah secara kuantitatif dilakukan melalui proses analisis mekanis di laboratorium. Proses ini terdiri atas pendispersian agregat tanah menjadi butir-butir tunggal dan kemudian dikuti dengan sedimentasi.

Prinsip analisisnya adalah proses dispersi dan sedimentasi adalah dua tahap penting sebelum tekstur tanah ditentukan dengan salah satu metode, metode hidrometer atau metode pipet. Dengan metode analisis mekanik, pasir diperoleh dengan menyaring, sedangkan untuk debu dan klei dipisahkan atas dasar kecepatan mengendap dalam air.

Menurut Gardiner dan Miller (2008), bahwa tekstur tanah sangat penting diperhatikan karena akan menentukan sifat-sifat tanah. Tekstur tanah berpengaruh besar terhadap laju masuknya air ke dalam tanah, penyimpanan air di dalam tanah, mudahnya pengolahan tanah, aerasi dan pemupukan tanah. Sebagai contoh, pada tanah dengan tekstur kasar seperti pasir mudah atau ringan untuk diolah, dan aerasi tanah tinggi. Tanah berpasir bailk untuk pertumbuhan akar tanaman dan mudah dibasahi. Tetapi kelemah-annya, tanah berpasir sangat cepat mengalami kekeringan dan unsur hara sangat mudah tercuci. Mudahnya tanah berpasir mengering karena perkolasi air tanahnya tinggi. Sebaliknya pada tanah-tanah dengan kandungan klei tinggi memiliki ukuran partikel primer sangat kecil dan posisinya saling berdekatan.

Konsekuensinya, tanah dengan klei tinggi mempunyai sedikit pori-pori kasar (makro), sehingga menghasilkan air yang masuk ke dalam tanah menjadi lambat sekali. Dengan pori-pori halus sangat tinggi, tanah klei sulit untuk dibasahi dan dikeringkan karena perkolasinya rendah. Selain itu, tanah dengan klei tinggi agak sulit untuk diolah.

Dari Tabel 3.1 menunjukkan bahwa karena ukurannya <0,002 mm, fraksi klei bersifat koloid, sedang fraksi debu dan pasir tidak bersifat koloid. Oleh karena itu, fraksi klei merupakan bagian aktif dalam tanah, sehingga sifat dan perilaku tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan kleinya. Adapun bahan organik tanah juga merupakan bagian koloid yang memengaruhi sifat-sifat tanah. Tekstur tanah berpengaruh nyata terhadap pergerakan air dan zat terlarut dalam tanah, udara, pergerakan panas, berat volume tanah (BV), luas permukaan spesifik (specific surface), kemudahan tanah memadat.

Rusman (2012) menyatakan bahwa bila terjadi perbedaan komposisi dari ketiga fraksi tersebut dalam suatu tanah akan menyebabkan kecepatan dan kapasitas infiltrasi tanah berbeda pula, begitu juga terhadap nilai erodibilitas tanah, dispersi, serta erosinya.

Dari beberapa hasil percobaan menunjukkan bahwa:

1. Tanah-tanah bertekstur pasir lebih tahan terhadap erosi dibandingkan dengan tanah bertekstur debu, hal ini disebabkan oleh: (a) tanah bertekstur pasir mempunyai pori makro yang lebih tinggi, sehingga kapasitas infiltrasinya tinggi; dan

(b) tekstur pasir dengan diameternya lebih besar (0,02-2,0 mm) akan lebih tahan terhadap penghanyutan bila dibandingkan dengan tekstur debu. Walaupun demikian, tanah-tanah bertekstur pasir mempunyai kemantapan agregat yang sangat lemah dan mudah lepas, di mana ikatan antara partikel-partikel primernya sangat lemah, sehingga mudah akan terdispersi dan tererosi.

2. Tanah-tanah yang banyak mengandung tekstur debu, akan paling mudah mengalami erosi, sebab (a) tekstur debu mempunyai ukuran 0,002 0,2 mm, akan mudah dihanyutkan oleh air: (b) tanah tekstur debu mudah mengalami jenuh air sehingga kapasitas infiltrasinya cepat menurun; dan (c) kemantapan agregat tanahnya sangat lemah, karena daya kohesi antara partikel primer sangat lemah.

STRUKTUR DAN MEKANISME PEMBENTUKAN AGREGASI TANAH

Struktur Tanah

Struktur tanah adalah susunan atau agregasi dari butir-butir primer dan sekunder seperti pasir, debu, dan klei membentuk agregat-agregat yang satu sama lain dibatasi oleh bidang belah alami. Struktur tanah dibungkus oleh selaput tipis yang terdiri dari misel jamur dan humus.

Sifat Penting Struktur Tanah

Struktur tanah merupakan suatu sifat yang penting dalam menentukan dan memengaruhi kondisi fisik tanah dan perkembangan akar tanaman, peredaran udara atau aerasi tanah, tata-air dan panas, ketersediaan unsur hara dan perombakan bahan organik serta kegiatan mikrobia tanah. Struktur tanah memengaruhi pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap: (a) udara tanah; (b) air tanah; (c)
ketahanan mekanik untuk perkembangan akar; dan (d) suhu tanah. White (2006)
menjelaskan bahwa untuk dapat menghasilkan keseimbangan kondisi fisik tanahdan menciptakan kondisi yang baik terhadap suhu, kelembaban dan suplai O, dalam tanah sangat ditentukan oleh struktur tanah. Secara inheren, keberadaan struktur
tanah akan memberikan keuntungan terhadap kehidupan organisme dalam tanah.
Adapun agregat tanah terbentuk jika partikel-partikel tanah menyatu membentuk unit-unit yang lebih besar. Kemper dan Rosenau (1986) mendefinisikan agregat tanah sebagai kesatuan partikel tanah yang melekat satu dengan lainnya lebih kuat dibandingkan dengan partikel sekitarnya. Ada dua proses awal dalam pembentukan agregat tanah, yaitu flokulasi dan fragmentasi. Flokulasi terjadi jika
partikel tanah yang pada awalnya dalam keadaan terdispersi, kemudian bergabung membentuk agregat. Adapun fragmentasi terjadi jika tanah dalam keadaan masif, kemudian terpecah-pecah membentuk agregat yang lebih kecil.
Struktur tanah dan stabilitas agregat menentukan beberapa ciri tanah di antaranya: (a) hubungan tanah dan air; (b) aerasi; (c) pengerakan; (d) infiltrasi; (e) permeabilitas; dan (f) pencucian hara. Sifat-sifat tersebut sangat menentukan produktivitas tanah. Berhasilnya cara pengelolaan tanah, terutama pada lahan kering sangat tergantung dari cara pengelolaan struktur tanah.
Menurut Arsyad dkk., (1975) bahwa dalam menelaah struktur tanah sebagai susunan butir-butir primer, dapat dibedakan: (a) Susunan butir-butir primer ke dalam agregat dan studi tentang gaya yang membentuk dan merusak agregat tersebut.
Studi ini lebih beraspek teori dalam penelitian struktur tanah. (b) Susunan agregat dan penyebaran ukuran pori yang terjadi. Masalah ini lebih beraspek praktis dalam penelitian struktur. Studi ini mencakup pengaruh distribusi ukuran pori terhadap peredaran udara dan air serta pertumbuhan tanaman. Metode ini merupakan penetapan kondisi fisik terbaik bagi perkembangan akar tanaman. (c) Susunan dan genesa agregat-agregat, seperti yang dapat dilihat di lapangan (struktur makro) atau di laboratorium dengan mikroskop (struktur mikro). Bidang ini disebut
morfologi struktur tanah, yang penting bagi survei, klasifikasi, dan genesa tanah.
Struktur tanah atau agregat butir-butir primer dapat digolongkan dalam agregat mikro dan agregat makro. Agregat mikro berukuran antara 0,25 mm sampai 0,5 mm. Agregat makro berukuran sampai 10 mm dan agregat yang berukuran lebih dari 10 mm disebut dengan bongkah (clod).

Tipe Struktur Tanah

Brady dan Weil (2008) menjelaskan bahwa unit struktur tanah secara alami ditentukan oleh tiga karakter, yaitu tipe (bentuk), kelas (ukuran), dan grade (kekuatan kohesi). Berdasarkan deskripsinya, ada beberapa tipe struktur, yaitu speroidal (granular dan remah), seperti gumpal (angular blocky dan subangular blocky), lempeng (platy) dan seperti prisma (columnar dan perismatic) (Brady dan Weil, 2008). Tipe struktur tanah tersebut dapat dijelaskan seperti berikut: (a) angular blocky (gumpal bersudut), bentuk kubus bersudut di pinggirnya, di horizon B; (b) subangular blocky (gumpal bersudut tumpul), bentuk kubus tumpul, agregat terikat kuat sesamanya dan dijumpai di horizon B, tapi bisa juga di A; (c) granular, butiran bulat kecil, kurang porous, padat, tidak terikat antara agregat, di horizon A; (d) crumb (remah) butiran bulat, kecil, porous, remah, tidak terikat antara agregat, di horizon A; (e) platy, berbentuk lempeng, tipis, di horizon E, tanah hutan dan claypan; (f) prisma, mirip prisma, atasnya datar, di horizon B; dan (g) columnar, seperti tiang. yang bagian atasnya agak bulat, di horizon Bt.
Definisi diagramatis dan lokasi penyebarannya dalam suatu profil tanah. Menurut terjadinya, struktur tanah di lapang dapat disebut:
(a) clod, terjadi akibat gangguan; (b) ped, agregat terjadi secara alamiah; (c) fragment, akibat pecahnya massa tanah; (d) konkresi, akibat pengikatan kuat oleh liat, besi dan kapur; (e) masif, butiran padat tidak berstruktur (klei yang padat); dan (f) los, tidak terikat sama sekali, lepas, seperti pasir.

Mekanisme Pembentukan Agregasi Tanah

Arsyad dkk., (1975) menyatakan bahwa gaya yang menyatukan butir-butir primer menjadi agregat adalah: (a) gaya intermolekuler (Gaya Van der Waals London dan ikatan H); (b) gaya kapiler yang timbul oleh adanya meniskus; dan () gaya kimia termasuk pengaruh kation yang terabsorpsi. Gaya intermolekuler adalah yang terpenting dalam pembentukan struktur mikro. Butir-butir primer harus berdekatan satu sama lain baru gaya intermolekuler bekerja. Untuk dapat berdekatan butir-butir primer tersebut harus terflokulasi atau terkoagulasi terlebih dahulu.

Pembentukan Struktur Mikro

Mekanisme Pembentukan

Dalam mekanismenya, bahan organik tanah mengikat bahan mineral tanah melalui proses kimia maupun proses fisika. Interaksi kimia antara bahan organik tanah dan matrik tanah biasanya terjadi dalam pembentukan struktur mikro atau dalam proses stabilisasi struktur tanah (Yulnafatmawita, 2011).
Beberapa mekanisme pengikatan butir-butir primer menjadi agregat yang diperkirakan bekerja di dalam tanah, sebagai berikut (Arsyad, 2010):
1. Pengikatan secara fisik butir-butir primer oleh mycelia jamur dan actinomycetes.
Dengan cara ini pembentukan struktur tanpa adanya fraksi klei dapat terjadi dalam tanah.
2. Pengikatan secara kimia butir-butir primer melalui ikatan antara bagian-bagian (kedudukan) positif butir-butir klei dengan gugusan negatif (carboxyl atau hidrosulfit) pada senyawa organik yang berbentuk rantai panjang (polimer).
3. Pengikatan secara kimia butir-butir klei oleh ikatan antara bagian (kedudukan) negatif klei dengan gugusan negatif (carboxyl) pada senyawa organik berantai panjang dengan perantara pertautan basa (Ca, Mg, Fe) dan ikatan hidrogen.
Pengikatan secara kimia butir-butir klei melalui ikatan antara bagian-bagian negatif klei dengan gugusan positif (gugusan ammine, amide, amino) pada senyawa organik berbentuk rantai (polimer).
5. Pengikatan secara kimia butir-butir klei bermuatan negatif melalui pertautan kation dan dalam peristiwa ini molekul air yang bersifat dipole memegang peranan penting pada taraf permulaan. Ketika air menguap maka butir-butir tertarik lebih dekat satu sama lain. Kation seperti Ca, Mg, dan hidroksida besi memegang peranan penting pada saat air telah menguap.
6. Pengikatan secara kimia butir-butir klei melalui bagian positif suatu butir dengan bagian-bagian negatif butir lainnya. Orientasi tertentu diperlukan untuk terjadinya mekanisme ini. Page (1955) menganggap pelumpuran meningkatkan kesempatan terjadinya orientasi butir-butir mineral klei. Menurut Yulnafatmawita (2011) bahwa bahan humat sering berasosiasi dengan Al dan Fe amorfus dalam tanah, sehingga dapat memantapkan partikel tanah. Dari beberapa hasil penelitian diperoleh bahwa bahan organik yang berasosiasi dengan Fe pada tanah Oxisol memberikan agregat tanah yang sangat stabil.

Susunan Hierarki

Dalam susunan hierarkinya, struktur tanah dibentuk dari peristiwa flokulasi diantara partikel tanah menjadi flokul, flokul digabung menjadi agregat mikro, dan agregat mikro dikelompokkan menjadi agregat makro. Flokul yang dihasilkan diklasifikasikan menjadi struktur mikro yang halus atau bersifat koloid dengan ukuran<0,001 mm, tetapi juga bisa lebih besar dari ukuran struktur mikro yang halus tersebut. Selanjutnya, flokul bergabung satu sama lain membentuk domain, lalu domain berkelompok menjadi agregat mikro, dan akhirnya agregat mikro bergabung bersama membentuk agregat makro (Dexter, 1988). Di bawah kondisi alami, flokulasi terjadi secara spontan, tergantung pada kandungan klei dan kondisi tanahnya, akan tetapi untuk sebagian tanah, bahan organik masih memainkan peranan penting dalam menggabungkan bahan partikel tanah.
Senyawa organik seperti polisakarida yang berinteraksi secara kimia dengan Fe dan Al memengaruhi proses flokulasi dengan mengarahkan klei dalam satu arah bidang datar yang sama dan membentuk jembatan di antara masing-masing partikel tanah untuk mengikatnya. Bahan organik tanah bisa berinteraksi secara kimia dengan bahan koloid lainnya karena ia bisa berkelakuan seperti kation, anion, dan bahan tanpa polar ion di alam.
Pada setiap level proses pembentukan struktur tanah, secara langsung ataupun tidak langsung. berpengaruh terhadap hubungan dan proses tanah-udara-air. Karena dalam suatu volume tanah secara umum terdapat bahan padatan (mineral tanah dan bahan organik), cairan dan udara. Ketiga bahan tersebut perlu dalam keadaan keseimbangan tertentu untuk menyediakan media tumbuh yang baik bagi pertumbuhan tanaman.

Pembentukan Struktur Makro

Struktur makro dikenal juga sebagai gabungan agregat (compound soil aggregates), khususnya agregat-agregat mikro membentuk agregat makro dengan adanya bahan organik. Menurut Arsyad dkk, (1975) bahwa agregat makro dapat terbentuk oleh peristiwa-peristiwa: (a) stabilisasi kimia atau sementasi; (b) efek pengeringan yang mempertinggi gaya kapiler; (c) pengikatan butir-butir kasar atau agregat mikro oleh bahan-bahan koloida. Termasuk di sini gaya pengikat antara butir-butir klei dengan bahan organik, seperti: humus, krilium, gelatin, polyuronida, bitumen, polyvinyl alkohol, polyvinyl asetat; dan (d) tegangan dan tekanan yang secara mekanik diberikan kepada tanah sehingga pada tempat-tempat tertentu terjadi bagian-bagian yang bertambah besar kerapatannya (berat volume/BV) yang akan membentuk bongkah-bongkah (clods) jika tanah dipecah kembali.
Bahan organik yang berperan dalam pemantapan ataupun pengikatan agregat mikro menjadi agregat makro di antaranya tumbuhan rendah seperti fungi (jamur).
Peningkatan populasi fungi akan meningkatkan kemampuan agregasi partikel-partikel penyusun tanah. Mikroba dan miselianya, yang berupa benang-benang, akan berfungsi sebagai perajut/perekat/glue antar partikel tanah. Pertumbuhan miselia jamur lebih efektif mengikat partikel tanah daripada mikroba yang kecil, seperti bakteri. Sehingga dengan adanya bahan organik dan fungi yang bermiselia akan menyebabkan struktur tanah menjadi lebih baik dan mantap atau stabil sehingga nilai erodibilitas tanah akan menjadi rendah, menyebabkan partikel-partikel tanah
lebih tahan terhadap dispersi atau erosi.
Stabilitas agregat akan akan menurun drastis pada tanah yang ditanami dengan kondisi permukaan yang bersih (clean weeding), tetapi akan meningkat pada tanah yang ditanami dalam kondisi berumput. Hal ini disebabkan karena akar dari rumput mampu merajut partikel tanah atau agregat mikro dalam tanah (agregat 250 um) menjadi agregat makro (> 250 jum) yang stabil. Adapun bahan organik yang diekresikan akar tanaman atau rumput juga membantu memperkuat stabilitas agregat tanah. 
Hasil penelitian Yulnafatmawita (2011) menunjukkan bahwa stabilitas agregat tanah meningkat dengan peningkatan kandungan bahan organik tanah. Misalnya stabilitas agregat Ultisol Limau Manis, dilaporkan bahwa stabilitas agregat meningkat sebanyak 16,8% setelah 3 bulan penambahan tithonia di lapangan. Selanjutnya dilaporkan bahwa terjadi peningkatan stabilitas agregat tanah setelah 4 bulan, 8 bulan, dan setelah 12 bulan pemberian bahan organik segar (tithonia, gamal, dan krinyuh) ke dalam tanah. Indeks stabilitas agregat tanah naik dari < 40% menjadi > 50% setelah penambahan bahan organik segar sebanyak 20 ton per hektare setara bobot kering.

Erosi dan Struktur Tanah

Terdapat dua aspek struktur tanah yang penting dalam hubungannya dengan erosi tanah, yaitu: (a) sifat fisiko-kimia klei yang menyebabkan terjadinya flokulasi; dan (b) adanya bahan pengikat butir-butir primer sehingga terbentuknya agregat tanah yang mantap.
Jika bongkah (clod) tanah kering dimasukkan ke dalam air, maka agregat tanah tersebut akan terlepas oleh tekanan udara yang terjerat di dalam ketika air masuk ke dalam semua pipa kapiler secara bersama-sama. Kejadian ini dinamakan disagregasi atau penghancuran agregat tanah. Kejadian ini berkaitan dengan peristiwa dispersi, di mana dispersi itu sendiri merupakan peristiwa terlepasnya butir-butir primer dari koagulasi atau flokulasi dan peristiwa sebaliknya dari kongulasi (Rusman, 2012).
Bagaimana peranan molekul organik dan kation dalam membantu peristiwa flokulasi koloid klei.  Hasil penelitian Kurnia (1996) menunjukkan C-organik yang hilang melalui erosi berkisar antara 6-10% dari total tanah yang tererosi. Artinya jika erosi terjadi sekitar 100 ton/ha/tahun, maka jumlah C-organik yang hilang berkisar antara 6-10 ton/ha/tahun. Adapun hutan merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat menjamin tercapainya cadangan karbon baik dalam tanaman maupun tanah secara optimal, yaitu sekitar 195,4 ton C/ha/tahun. Untuk meningkatkan serapan karbon di lahan pertanian, penutupan lahan pertanian harus dilakukan seoptimal mungkin. Perkebunan merupakan bentuk sekuestrasi karbon yang paling optimal di sektor pertanian, simpanan C dalam tanaman perkebunan berkisar antara 40-70 ton/ha, serta pertanian lahan kering, rata-rata simpanan C-nya sebesar 10 ton/ha dan pertanian lahan kering campuran, rata-rata simpanan C-nya sebesar 30 ton/ha (Ai Dariah 2013).
Erosi juga ada kaitannya dengan agregasi tanah. Kemper dan Rosenau (1986) mengembangkan temuannya bahwa makin mantap suatu agregat tanah, makin rendah kepekaannya terhadap erosi (erodibilitas tanah). El-Swaify dan Dangler (1976) mendapatkan bahwa parameter-parameter kemantapan agregat (berat diameter rata-rata dan ketidakmantapan agregat kering dan basah) adalah lebih besar korelasinya terhadap erodibilitas dibandingkan dengan kandungan klei, debu dan pasir sangat halus, bahan organik, struktur dan permeabilitas. Adapun faktor-faktor memengaruhi kamantapan agregat tanah antara lain adalah pengolahan tanah, aktivitas mikroba tanah dan pengaruh tajuk tanaman terhadap permukaan tanah dari pengaruh energi kinetik curah hujan. Pengolahan tanah yang berlebihan cenderung memecah agregat mantap menjadi agregat tidak mantap dan sangat sering terjadi kemantapan agregat tanah menjadi menurun pada sistem pertanian tanaman semusim, karena tanahnya sering diolah dan beberapa saat berada dalam kondisi terbuka sehingga pengaruh energi kinetik curah hujan menjadi lebih besar terhadap permukaan tanah yang terbuka, seperti pada tanaman jagung tanpa ada mulsa.
Oleh karena itu, konservasi bahan organik pada lahan kering mutlak harus dilakukan dalam pengelolaan tanah, terutama melalui komponen teknik konservasi vegetatif, untuk menjaga kondisi sifat fisika tanah, sehingga fungsi aerasi, drainase tidak terganggu, sehingga kemampuan tanah untuk menjaga struktur tanah yang stabil dan dapat meningkatkan penyediaan air dan udara bagi tanaman.

KERAPATAN ISI, DAN BERAT JENIS TANAH

Kerapatan Isi

Kerapatan isi atau berat volume tanah (BV) merupakan salah satu sifat fisika tanah yang paling banyak dikaji, baik di lapangan maupun skala laboratorium. Hal ini erat keterkaitannya dengan pengelolaan tanah yang terkait dengan kepadatan tanah, kemudahan penetrasi akar tanaman, aerasi tanah, pengolahan tanah. Nilai berat volume tanah mempunyai variabilitas spasial (ruang) dan temporal (waktu). Nilai berat volume bervariasi dari satu titik dengan titik lain di lapangan atau hamparan tanah. Hal ini disebabkan oleh beragamnya kandungan bahan organik tanah, tekstur, struktur, jenis mineral klei tanah, kedalaman perakaran tanaman, dan jenis fauna tanah.
Pada tanah yang mudah mengembang dan mengerut, nilai berat volume tanah berubah-ubah seiring dengan berubahnya kadar air tanah. Sehingga untuk tanah yang mengembang dan mengerut, nilai BV perlu disertai dengan data kadar air. Tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi mempunyai berat volume relatif rendah. Tanah dengan ruang pori total tinggi, seperti tanah klei, cenderung mempunyai berat volume lebih rendah. Sebaliknya, tanah dengan tekstur kasar, walaupun ukuran porinya lebih besar, namun total ruang porinya lebih kecil, mempunyai berat volume yang lebih tinggi. Komposisi mineral tanah, seperti dominannya mineral dengan berat jenis partikel tinggi di dalam tanah, menyebabkan berat volume tanah menjadi lebih tinggi pula (Grossman dan Reinsch, 2002).
Berat volume tanah mineral berkisar antara 0,6 1,4 g cm*. Tanah Andisol mempunyai berat volume yang rendah (0,6 0,9 g cm**), sedangkan tanah mineral lainnya mempunyai berat volume antara 0,8 - 1,4 g cm. Tanah gambut yang telah matang (dengan tingkat pelapukan sapris) mempunyai berat volume yang rendah (0,4- 0,6 g cm*). Secara umum untuk tanah pasir mempunyai berat volume antara 1,4-1,7 gcm, sedangkan untuk tanah klei adalah antara 0,95 - 1,2 g cm°( Kurnia dkk., 2006).
Volume tanah adalah jumlah volume dari fase padat, cair, dan gas di dalam tanah. Berat volume (kerapatan isi) adalah berat massa tanah per satuan volume tanah (termasuk volume pori) dalam keadaan kering oven yang satuannya dinyatakan dalam g cm, atau Mgm* (ton m*).

Metode Analisis

Berbagai metode dapat digunakan dalam penentuan berat volume tanah, antara lain: (1) metode ring contoh (core); (2) metode penggalian tanah; (3) metode bongkahan; dan (4) metode radiasi atau gamma ray (Kurnia dkk., 2006).
Metode radiasi adalah metode penentuan berat volume tanah di lapangan atau di dalam pot (in situ). Metode ini relatif mahal dan berpotensi mendatangkan bahaya radioaktif. Metode ring dan metode bongkahan sudah lama dan umum digunakan, sedangkan metode galian relatif baru dan banyak digunakan dalam bidang teknik sipil, terutama untuk tanah berbatu-batu dan tanah yang sangat lengket. Apabila tanah sangat gembur, sehingga sulit diambil dengan ring atau sulit diambil bongkahannya, maka metode penggalian merupakan alternatif Prinsip metode ring (silinder) adalah suatu ring berbentuk silinder dimasukkan ke dalam tanah dengan cara ditekan dengan pelan-pelan sampai kedalaman tanah tertentu, kemudian dibongkar dengan hati-hati supaya volume tanah tidak berubah. Contoh tanah bersama ring dikeringkan selama 24 jam pada suhu 105°C di oven sampai dicapai berat yang konstan, kemudian ditimbang. Oleh karena contoh tanah untuk pengukuran BV harus mendekati kondisi alami (undisturbed sample), maka ring yang dibutuhkan adalah ring dengan diameter tertentu yang tidak menimbulkan kerusakan tanah, dengan tinggi ring tidak melebihi diameter ring. Metode ring yang digunakan untuk menentukan nilai berat volume tanah, juga berguna untuk penentuan konduktivitas hidrolik tanah/permeabilitas tanah dan distribusi ukuran pori.

Berat Jenis Tanah

Berat jenis tanah (BJ= kerapatan partikel) adalah berat massa tanah per satuan volume partikel tanah (tanpa pori) kering oven. BJ tanah mineral umumnya antara 2,60-2,70 g cm* dengan rata-rata 2,65 g cm* tanpa banyak bervariasi.
Berat jenis partikel (BJ]) adalah perbandingan antara massa total fase padat tanah Ms dan volume fase padat Vs. Massa bahan organik dan anorganik diperhitungkan sebagai massa padatan tanah dalam penentuan berat jenis partikel tanah. Berat jenis partikel mempunyai satuan Mg m atau g cm. Berat jenis partikel berhubungan langsung dengan berat volume tanah, volume udara tanah serta kecepatan sedimentasi partikel di dalam zat cair. Tetapi berat jenis partikel tanah sangat bervariasi tergantung pada komposisi mineral tanahnya. 

AERASI DAN POROSITAS TANAH

Aerasi Tanah

Sebagian besar makhluk hidup memerlukan oksigen bebas untuk hidupnya. Di dalam tanah, akar tanaman dan biota tanah memerlukan O, untuk respirasi. Di ekosistem lahan kering, aerasi sangat penting untuk menjamin pertukaran O, antara udara tanah dan atmosfer bebas terjadi. Faktor-faktor yang memengaruhi pertukaran 0, antara lain porositas tanah, suhu, kedalaman tanah, dan pengelolaan tanah.
Oleh karena O, di dalam tanah diperlukan untuk respirasi dan dekomposisi bahan organik, maka konsentrasinya akan berbeda dari atmosfer. Sebagai contoh, CO, di atmosfer mengandung 0,038%, di dalam tanah bisa mencapai 10%. Sebaliknya, O, di lahan kering bisa mencapai 10%-bahkan di lahan basah bisa 0%, sedangkan di atmosfer mencapai 20%.
Kekurangan O, dalam tanah di lahan kering akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu, bahkan bisa gagal panen. Faktor-faktor penyebab kekurangan 0, adalah (1) penggenangan, (2) pemadatan tanah, (3) kandungan liat tinggi, dan (4) dekomposisi bahan organik.
Untuk memperbaiki aerasi tanah bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem drainase, pengolahan tanah dalam (membongkar kompaksi), dan mencampur residu tanaman dalam tanah (Gardiner dan Miller, 2008).
Di lahan basah seperti lahan sawah, rawa dan lahan gambut, kekurangan oksigen akan mengubah potensial redoks (Eh). Potensial redoks (Eh) menggambarkan tendensi bahan kimia atau air dalam tanah dioksidasi. Potensial redoks (Eh) tinggi menunjukkan tanah bersifat oksidatif (ada O,), sedangkan Eh rendah (negatif) berarti tanah bersifat reduktif (O, sedikit atau tidak ada). Untuk tujuan pertumbuhan, semua tanaman memerlukan O, untuk respirasi. Oksigen diperoleh di ruang pori tanah di mana akar bertumbuh. Bagaimana dengan padi sawah yang banyak ditemukan di daerah tropika? Tanaman padi sawah mendapatkan 0, dari rizosfer akar. Tanaman padi mempunyai sistem pertukaran O, internal akartajuk, sehingga walaupun tergenang, mereka masih bisa berespirasi (Gardiner dan Miller, 2008). Sifat-sifat tanah lainnya juga berubah.

Porositas Tanah

Ukuran dan penyebaran pori-pori dalam tanah di samping memengaruhi aliran permukaan dan erosi juga sangat menentukan tingkat kesuburan fisik suatu tanah.
Susunan dan ukuran pori tanah menentukan tingkat aerasi dan kemampuan menahan atau menyediakan air.
Distribusi pori dalam tanah menggambarkan keadaan struktur tanah, sangat penting artinya bagi tata air dan tata udara tanah. Dalam hubungannya tanah dengan tanaman ada dua jenis pori yang penting, yaitu: (a) untuk menyediakan air; dan (b) untuk penyediaan udara yaitu pori air tersedia dan pori aerasi (Suwardjo, 1981).
Pori penyimpan air tersedia berukuran antara 0,2 sampai 9 mikron atau sesuai dengan tarikan 0,3 sampai 15 atmosfer (Kohnke, 1968). Tetapi banyak pakar yang menyatakan bahwa air tersedia itu terletak antara tarikan matrik 0,1 sampai 15 atmosfer atau antara pF 2 hingga pF 4,2. Pori ini setara dengan ukuran pori antara 0,2 hingga 30 mikron. Pori penyimpan air tersedia ini kadang-kadang menjadi pembatas pada tanah pasir. Pori yang berukuran lebih besar dari 30 mikron setara dengan pF = 2, pori ini biasanya terisi udara dan disebut pori aerasi atau pori drainase cepat (De Boodt dan Leenheer, 1958).
Pori aerasi dalam tanah merupakan pori yang terpenting. karena sering kali merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman pada sebagian besar tanah, kecuali pada tanah pasir yang pori aerasinya sering tidak merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman. Pori aerasi juga sangat menentukan laju infiltrasi dan permeabilitas. Pori yang berukuran antara 9 sampai 30 mikron sering disebut pori drainase lambat, sedangkan pori yang lebih kecil dari 0,2 mikron disebut pori tidak berguna, sedangkan pori yang berukuran lebih besar 30 mikron disebut dengan pori aerasi atau pori makro.
Difusi udara dalam tanah akan berhenti jika pori aerasi kurang dari 10 persen
dari volume tanah, sehingga pada kondisi tersebut pertumbuhan tanaman akan
buruk sekali. Tanaman tebu dan kentang misalnya dapat tumbuh dengan baik, bila
pori aerasi tanah lebih dari 12 persen dari volume tanah.
Jumlah semua pori dalam suatu volume tanah disebut ruang pori total atau total
ruang pori, yang dinyatakan dalam persen volume (% volume). 

PERMEABILITAS TANAH

Pergerakan air di dalam tanah merupakan aspek penting dalam hubungannya dengan bidang pertanian. Beberapa proses penting, seperti masuknya air ke dalam tanah, pergerakan air ke zona perakaran, keluarnya air lebih (excess water) atau drainase, aliran permukaan, dan evaporasi, sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanah untuk melewatkan air (Ai Dariah dkk., 2006). Parameter atau ukuran yang dapat menggambarkan kemampuan tanah dalam melewatkan air disebut sebagai konduktivitas hidrolik (Klute dan Dirksen, 1986).
Tingkat kemampuan tanah untuk melewatkan air sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah. Oleh karena itu, konduktivitas hidrolik tanah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 
a. konduktivitas hidrolik dalam keadaan tidak jenuh.
b. konduktivitas hidrolik dalam keadaan jenuh (permeabilitas tanah).
Secara kuantitatif permeabilitas tanah diartikan sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan pada suatu media berpori dalam keadaan jenuh. Dalam hal ini sebagai cairan adalah air, dan sebagai media berpori adalah tanah.
Permeabilitas tanah didefinisikan oleh hukum Darcy untuk satu dimensi yaitu aliran secara vertikal. Sifat ini sangat dipengaruhi geometri (ruang) pori dan sifat dari cairan yang mengalir di dalamnya. Ukuran pori dan adanya hubungan antar
pori-pori tanah sangat menentukan apakah tanah mempunyai permeabilitas rendah atau tinggi. Air akan dapat mengalir dengan mudah di dalam tanah yang mempunyai pori-pori besar dan mempunyai hubungan antarpori yang baik. Pori-pori kecil dengan hubungan antarpori yang seragam akan mempunyai permeabilitas lebih rendah, sehingga air akan melalui tanah lebih lambat.
Sifat dari cairan yang secara langsung berpengaruh terhadap permeabilitas tanah adalah viskositas (viscosity) dan berat jenis (density). Permeabilitas berbanding terbalik dengan sifat kekentalan zat cair, di mana sifat kekentalan air berkurang dengan meningkatnya suhu air. Dalam hal ini, penentuan permeabilitas sebaiknya dilakukan pada suhu air tidak lebih dari 20°C. Total garam terlarut (total dissolved salt) dalam air rembesan dapat memengaruhi permeabilitas, terutama untuk tanah padat (Ai Dariah dkk., 2006).
Pengukuran permeabilitas tanah di laboratorium merupakan aplikasi langsung dari persamaan Darcy pada suatu kolom tanah dalam keadaan jenuh dari suatu penampang melintang (cross sectional area) yang bersifat seragam (uniform). 

SUHU TANAH

Suhu tanah merupakan faktor penting dalam menentukan proses-proses fisika tanah yang terjadi di dalam tanah, serta pertukaran energi dan massa dengan atmosfer, termasuk proses evaporasi dan aerasi. Suhu tanah juga memengaruhi proses biologi seperti perkecambahan biji, pertumbuhan benih dan perkecambahan, perkembangan akar, maupun aktivitas mikroba di dalam tanah. Adapun parameter tanah yang memengaruhi suhu tanah adalah kapasitas panas spesifik, penghantar panas, difusivitas panas serta sumber dan keluaran panas internal pada waktu tertentu (Budhyastoro dkk., 2006).
Panas dapat dipindahkan dalam tanah dengan cara rambatan (conduction), aliran massa air (mass flow of water), evaporasi dan kemudian kondensasi air dan konveksi (convection). Rambatan adalah pemindahan panas oleh pertukaran energi kinetik secara molekul. Pada umumnya, perpindahan panas dalam tanah sering terjadi dengan cara ini. Dalam tanah lembab, gerakan air dingin atau panas akan memindahkan panas dalam penampang tanah. Pada beberapa tanah, panas dapat diambil dari suatu tempat dalam tanah sebagai penguapan air, dipindahkan ketempat lain dengan difusi uap, yang kemudian dikumpulkan pada suatu tempat dingin pada saat uap air berkondensasi. Aliran secara konveksi dalam ruang pori tanah dapat juga memindahkan panas dalam tanah (Arsyad dkk., 1975).
Keseimbangan panas tanah merupakan neraca panas yang diterima oleh permukaan tanah, dan hilangnya energi panas dari permukaan tanah. Radiasi yang diterima oleh permukaan tanah, sebagian direfleksikan kembali ke atmosfer, dan sebagian lagi diabsorpsi permukaan tanah. Tanah yang berwarna gelap, dan pasir kuarsa yang berwarna terang dapat mengabsorpsi t 30 80% radiasi panas yang diterima. Jumlah yang direfleksikan kembali merupakan albedo, nilainya kurang dari 10% untuk air, dan 20% untuk tanah. Dari total radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi, t 34% direflesikan kembali ke ruang angkasa (albedo), 19% diabsorpsi oleh atmosfer, dan 47% diabsorpsi oleh bumi (Budhyastoro dkk., 2006).
Adapun panas yang diabsorpsi dapat hilang dari tanah melalui: (a) evaporasi; (b) kembali ke atmosfer sebagai radiasi gelombang panjang: (c) pemanasan udara oleh tanah; dan (d) pemanasan tanah. Penggunaan mulsa dan berbagai jenis naungan dapat mengurangi jumlah radiasi matahari yang diserap tanah, hilangnya energi dari tanah akibat radiasi dan hilangnya air melalui evaporasi. Mulsa bahan organik yang berwarna terang dapat:
a. Memantulkan sebagian radiasi matahari.
b. Memperlambat hilangnya panas oleh radiasi.
c. Menaikkan infiltrasi air.
d. Mengurangi evaporasi dari permukaan tanah.
Hal ini membuktikan bahwa mulsa yang berwarna terang dapat mengurangi suhu tanah, sedangkan mulsa yang berwarna gelap dapat:
1. Mengabsorpsi sebagian besar radiasi matahari.
2. Mengurangi hilangnya panas dari tanah.
3. Mengurangi evaporasi dari permukaan tanah.
Lebih baru Lebih lama