Klasifikasi Kosmologi
Disiplin keilmuan kosmologi telah mengalami perkembangan pesat, seiring dengan perjalanan sejarah sebagaimana cabang keilmuan lain. Berawal dari tradisi pemikiran Yunani kuno, dipelopori oleh filsuf-filsuf alam, sampai kekinian kita, telah lahir pelbagai corak pemikiran kosmologi yang beragam sesuai dengan titik-pijak, orientasi, dan perspektifnya. Ditelaah dari watak dan karakternya, pemikiran kosmologi dapat diklasifikasi dalam enam mainstream (arus besar) pemikiran yakni; spekulatif, ilmiah, kritik, matematis, baru (pasca-Einstein), dan sintesis.
Kosmologi Spekulatif
Pemikiran kosmologi jenis ini dibangun atas dasar kerangka epistemologi yang menitikberatkan pada kemampuan kontemplasi yang bersifat spekulatif. Meskipun begitu, pada tahap pemikiran ini sudah dilakukan pengamatan langsung atau observasi dalam pengertian yang paling sederhana. Misalnya pandangan Demokritos yang menegaskan bahwa arkhealam semesta ialah atom dan ruang kosong; ini jelas merupakan hasil olah nalar spekulatif murni. Sejarah menuturkan bahwa waktu itu belum ditemukan alat apa pun yang memungkinkan seseorang dapat mengetahui keberadaan atom dan ruang kosong.
Kosmologi Ilmiah
Kosmologi model ini bekerja dengan alat dan kerangka atau desain metode yang kerja dan produknya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kosmologi Kritik
Model kosmologi yang lahir sebagai jawaban atas keberatan-keberatan terhadap kosmologi spekulatif. Tokoh yang dikategorikan sebagai pemikir kosmologi kritik ialah Emmanuel Kant, karena ia memiliki ciri yang unik dan berbeda dengan model pemikiran kosmologi lain. Ia berusaha mengatasi kelemahan-kelemahan kosmologi spekulatif dengan metode kritisisme.
Kosmologi Matematis
Kosmologi matematis merupakan pemikiran kosmologi yang fondasinya dirancang berdasarkan asumsi epistemologis ilmu-ilmu kealaman seperti astronomi, fisika, dan matematika.
Kosmologi Baru
Pasca Einstein mayoritas ilmuwan mengatakan bahwa sesudah Albert Einstein mewariskan prinsip-prinsip kosmologi matematis, terjadi debat metodologis yang luar bisa. Dari debat tersebut justru kosmologi dianggap sebagai ilmu baru yang memberikan sumbangan cukup signifikan kepada perkembangan ilmu dewasa ini.
Kosmologi Sintesis
Model kosmologi yang mencoba membuat sintesis-sintesis baru atas dasar hasil penemuan ilmu-ilmu kealaman dengan mempertimbangkan keterangan-keterangan filsafat (Siswanto, 2005: 12-13). Perjalanan sejarah pemikiran kosmologi mengalami dinamisasi menuju kesempurnaan pengetahuan manusia tentang jagat raya. Proses dinamis ini, sesuai dengan epistemologi problem solving Karl Popper dengan metode falsifikasi, bahwa sifat kemungkinan salah dari ilmu mendorong manusia selalu belajar untuk maju (Taryadi, 1989: 32). Selaras dengan pandangan di atas, Stephen Hawking dalam bukunya A Brief History of Time dan The Theory of Everything, The Origin and Fate of the Universe, ia berusaha memadukan pelbagai teori tentang jagat raya untuk menemukan sebuah teori kosmologi yang paripurna. Dalam kerangka dan problem inilah, penulis melakukan studi pemikiran kosmologi Stephen Hawking.
Sejarah Perkembangan Kosmologi
Dalam beberapa ratus tahun terakhir, kosmologi telah didominasi oleh fisika dan astrofisika.
Masalah yang dihadapi para kosmolog modern adalah mempersatukan sifat-sifat alam semesta teramati untuk memperoleh model-model alam semesta yang akan mendefinisikan struktur dan evolusinya. Model alam semesta menjadi sarana yang dibangun manusia untuk memperoleh gambaran mengenai alam semesta yang demikian luas. Model ini dibentuk dengan bertumpu pada data empiris dan teori-teori fisika. Model alam semesta pun senantiasa diujikan. Hasil-hasil amatan baru atau teori-teori baru akan mengubah model alam semesta dari waktu ke waktu.
Apakah model yang dibangun para kosmolog merupakan cermin Alam Semesta? Kita mungkin tidak pernah dapat memastikannya. Dalam membuat model alam semesta, para kosmolog ibarat seorang pembuat topeng yang harus memasangkan topeng buatannya pada seraut wajah tak dikenal, Alam Semesta. Ia hanya mempunyai satu Alam Semesta, dan ia berada di dalamnya. Ia tidak pernah mengetahui seperti apakah Alam Semesta sesungguhnya. Kosmolog bukan membuat potret alam semesta, ia hanya membuat analoginya. Upaya ini tidak sederhana, namun terbukti berhasil melahirkan teori-teori tentang asal usul, struktur dan evolusi alam semesta yang dari waktu ke waktu menambah pemahaman kita mengenai ruang maha besar yang kita huni ini.
Dari Kosmos Magis ke Mitologi
Kosmologi modern didukung oleh piranti pengamatan astronomis dan sarana penghitung yang amat canggih, sehingga bahkan wilayah-wilayah alam semesta yang luar biasa jauh pun dapat dimasukkan ke dalam jangkauan pengetahuannya. Namun sebetulnya, selama ribuan tahun sebelumnya, manusia berjuang membuat model alam semestanya dengan hanya bertumpu pada mata telanjang dan perhitungan sederhana.
Model alam semesta paling dini dalam sejarah kosmologi adalah kosmos magis yang dipenuhi oleh emosi gaib. Kosmos ini melahirkan kisah-kisah menakutkan yang sering kita jumpai dalam dongeng masa kecil. Tidak jelas kapan era ini berawal, tetapi yang jelas masa ini berakhir ketika manusia mulai membangun dan menghuni kota-kota sekitar 10.000 tahun lalu.
Pada era ini, kekuatan magis yang bergentayangan dari pohon ke pohon, meloncat dari satu gumpalan awan ke gumpalan lainnya, yang mendebur dari lautan ke daratan, atau di mana pun mereka bersemayam, menjelma ke dalam tubuh dewa dan dewi penguasa kosmos. Inilah era mitologi. Mitologi menjadi kosmologi prailmu, karena mitologi adalah upaya tertua manusia untuk mulai menjelaskan kosmos dengan cara yang sistematik. Mitologi tertua mengenai alam semesta yang dapat ditelusuri sejauh ini, berasal dari Sumeria (sekarang Irak), Babilonia, Yunani Cina, Suku Maya dan India. Isi mitologi amat beragam, tetapi umumnya dapat ditarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa semua model itu bersifat antroposentrik, yaitu menjadikan manusia sebagai pusat segala kegiatan di alam semesta. Para dewa dan dewi yang sedemikian kuasanya pun hanya disibukkan oleh urusan manusia dari waktu ke waktu.
Awal untuk sebuah Kosmologi Modern
Mitologi merupakan upaya menjelaskan gejala yang tampil di alam dengan cara mencari penyebabnya di luar alam, yaitu kehendak para dewa dan dewi. Era mitologi mulai berakhir ketika manusia tidak lagi mencari penyebab gejala di luar alam, melainkan dari dalam alam sendiri. Para filsuf Yunani mulai memikirkan air, atau udara, atau api, sebagai penyebab segala sesuatu di dalam. Inilah tahap filsafat alam yang dimulai kira-kira abad ke-6 SM. Sekalipun demikian, gagasan kosmos antroposentrik tetap melekat dalam pemikiran Yunani kuno dan terwujudkan dalam gagasan kosmos geosentrik.
Bermacam-macam model alam semesta muncul dan tenggelam sejak itu, tetapi ada satu kosmos geosentrik yang diyakini kebenarannya selama lebih dari 14 abad. Kosmos itu adalah kosmos geosentrik Ptolomaues yang diajukan tahun 140. Ptolomaues yakin bahwa bukan saja Bumi itu adalah pusat tata surya, tetapi pusat gerak seluruh alam semesta. Dengan bantuan aturan-aturan geometri yang rumit, ia mencoba menjelaskan gerak benda-benda langit yang tampak sepanjang tahun. Kosmos geosentrik ini terasa nyaman untuk manusia, karena bukan saja berarti bahwa ia tetap menjadi pusat kegiatan kosmos, tetapi juga bahwa ia adalah mahluk yang pantas mendapat perhatian khusus.
Penggeseran posisi manusia dari tempat yang dipertahankan selama hampir sepanjang sejarah pemikiran manusia itu berlangsung melalui konsep heliosentris yang diajukan Copernicus. Copernicus mengatakan bahwa gerak benda-benda langit sepanjang tahun yang seakan-akan mengelilingi Bumi sesungguhnya adalah gerak semu akibat peredaran Bumi mengelilingi Matahari. Semua planet dan bulan-bulannya mengedari Matahari dalam suatu tata surya; di luar planet yang terjauh terdapat selubung bintang-bintang yang semuanya berpusat di Matahari. Seluruh semesta berpusat di Matahari.
Gagasan radikal Copernicus yang menggeser posisi manusia ini tidak mudah untuk diterima; namun ketika diterima dan dilengkapi dengan hukum gerak planet dari Kepler, tafsiran matematis atas alam oleh Galileo, serta pemahaman mengenai gaya gravitasi oleh Newton, pemikiran Copernicus menjadi sebuah revolusi pemikiran besar yang melandasi perombakan hubungan manusia dengan alam. Keseluruhannya membentuk suatu paduan pemahaman mengenai hukum-hukum mekanika yang bekerja di seluruh alam semesta. Alam semesta pun terpahami melalui hukum-hukum mekanika yang berlaku sama di wilayah mana pun di dalamnya. Konsepsi alam yang terbelah antara wilayah duniawi yang fana dan wilayah langit eterial yang kekal serta tak terjangkau oleh hukum-hukum alam, runtuh bersama hukum-hukum yang dapat dipelajari itu.
Dari Kosmos Statik ke Kosmos Dinamik
Newton memperkenalkan konsep gaya ke dalam alam-semestanya; gaya itu adalah gaya gravitasi yang bertindak sebagai pengatur gerak dalam alam semesta. Sekalipun bersifat menarik, di dalam kosmos menurut konsepsi Newton ini terjadi keseimbangan yang luar biasa sehingga alam semesta tetap statik dan tidak bergerak mengerut oleh gravitasi. Penyebabnya adalah alam semesta ini tidak mempunyai pusat dan terentang takhingga sehingga gaya-gaya yang lahir dari setiap obyek di dalamnya saling meniadakan.
Kosmos Newton dengan gravitasi universalnya yang berlaku di mana-mana ini bertahan lebih dari dua setengah abad. Perubahan mendasar di dalam gagasan mengenai alam semesta muncul bersama teori kenisbian khusus dan umum yang dilahirkan Einstein pada permulaan abad ke-20. Teori ini melandasi hampir seluruh upaya pemahaman mengenai alam semesta skala besar di tempat-tempat teori Newton tidak bekerja lagi dengan cemat atau bahkan mengalami kegagalan.
Einstein memperkenalkan kosmologi statik, yaitu sebuah alam semesta yang tidak bergerak ke manapun. Berbeda dengan kosmos Newton, Kosmos Einstein ini berhingga namun tak berbatas dan mengandung di dalamnya sebuah gaya misterius yang ia beri lambang lambda (8). Mengapa ia memperkenalkan gaya ini?
Di atas kertas, kosmos Einstein sebetulnya bergerak memuai. Namun Einstein menolak temuannya sendiri itu karena tidak seorang pun pada masa itu pernah memperkenalkan gagasan kosmos yang dinamik. Untuk menghentikan gerak itulah ia menambahkan 8 (sesuatu yang kemudian ia sesali sebagai ‘kesalahan bodoh terbesar’ yang pernah ia lakukan).
Selama perkembangan model-model alam semesta itu pula, para astronom menemukan bahwa kosmos dipenuhi oleh berbagai ragam bentuk galaksi. Pengamatan yang dilakukan sendiri-sendiri oleh Edwin Hubble dan Vesto Slipher menunjukkan bahwa garis-garis pada spekra galaksi-galaksi itu ternyata cenderung bergeser ke panjang gelombang yang lebih merah daripada seharusnya.
Gejala inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai petunjuk bahwa alam semesta ruang dinamik yang bergerak dari waktu ke waktu, galaksi-galaksi saling menjauh. Pada tahun 1929, Hubble menghitung bahwa kian jauh galaksi kian tinggi laju menjauh galaksi tersebut.
Tafsiran ini melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Bayangkan bahwa sebuah galaksi berjarak sekitar 10 milyar tahun cahaya akan menjauh dengan laju 200.000 km/detik atau 0,6 kali laju cahaya. Laju setinggi itu untuk benda semasif galaksi amat sukar untuk dijelaskan melalui model-model alam semesta yang ada.
Persoalan ini menjadi jelas ketika seorang paderi dan kosmolog Belgia LemaitrL (1931) mengajukan model kosmos yang mengembang. Menurut LemaitrL gerak galaksi adalah bukti bahwa alam semesta memuai. Pemuaian itu demikian rupa sehingga ruang-waktu terus membesar tetapi tanpa menyebabkan galaksi-galaksi sendiri ikut membesar; hanya jarak di antaranya kian membesar.